CakapCakap – Cakap People! Lebih dari 30 warga sipil dan polisi terluka dalam aksi unjuk rasa anti-pemerintah Thailand, kata sebuah pusat medis darurat pada Minggu, 21 Maret 2021, setelah polisi menggunakan water canon, gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan demonstrasi pada malam sebelumnya.
Reuters melaporkan, video yang beredar di media sosial menunjukkan polisi memukul dan menginjak orang-orang, sementara yang lain melarikan diri dari polisi dengan perlengkapan anti huru hara dan beberapa meninggalkan sepeda motor mereka. Video lain menunjukkan orang-orang berlindung dari gas air mata di restoran McDonald’s.
Sebanyak 13 petugas polisi dan 20 lainnya terluka, kata Pusat Medis Erawan.
Polisi mengatakan pada hari Minggu tindakan mereka sesuai dengan standar internasional dan sebanyak 20 pengunjuk rasa ditangkap karena melanggar undang-undang pertemuan publik dan menghina monarki.
“Kekerasan berasal dari pihak pengunjuk rasa dan polisi harus membela hukum dan melindungi harta nasional,” kata wakil kepala polisi Bangkok, Piya Tavichai, kepada wartawan.
Para pengunjuk rasa tidak setuju atas komentar polisi tersebut.
“Kekerasan datang dari polisi dulu, menggunakan gas air mata dan water canon sebelum pengunjuk rasa melakukan sesuatu,” kata aktivis Rukchanok Srinork, 27 tahun, yang berada di tempat demonstrasi itu.
“Mereka memiliki helm, perisai, pelatihan pengendalian massa, jika ada batu, angkat perisaimu.”
Foto Raja Thailand dirusak pada aksi demonstrasi Sabtu malam, yang dihadiri lebih dari 1.000 orang.
Protes anti-pemerintah di Thailand bulan ini menyebabkan lebih dari 20 pengunjuk rasa terluka.
Gerakan protes pemuda Thailand muncul tahun lalu dan telah menjadi tantangan terbesar bagi pemerintah Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, seorang pensiunan jenderal angkatan darat yang merebut kekuasaan pada tahun 2014 dari pemerintah terpilih.
Para pengunjuk rasa mengatakan Prayut Chan-o-cha merekayasa proses yang melestarikan pembentukan monarki militer dan membuatnya tetap berkuasa setelah pemilu 2019. Prayut dan pendukungnya menolak pernyataan itu.
Para pengunjuk rasa menuntut reformasi monarki, melanggar tabu tradisional, mengatakan Konstitusi yang dirancang oleh militer setelah kudeta 2014 memberi Raja Thailand terlalu banyak kekuasaan.
Istana Kerajaan, yang menolak berkomentar pada hari Minggu, telah menghindari berkomentar langsung tentang protes tersebut. Pemerintah mengatakan kritik terhadap Raja itu melanggar hukum dan tidak pantas.