CakapCakap – Cakap People! Korea Utara berada di urutan terbawah di antara 167 negara yang disurvei untuk Indeks Demokrasi 2020.
Negara itu mendapatkan skor keseluruhan 1,08 dari total nilai 10. Demikian menurut Indeks Demokrasi 2020 yang diterbitkan oleh Economist Intelligence Unit (EIU), divisi penelitian mingguan Inggris, The Economist.
Kantor berita Yonhap melaporkan pada Sabtu, 13 Februari 2021, Korea Utara memiliki peringkat terendah selama 16 tahun berturut-turut dalam indeks EIU sejak badan tersebut mulai mengumpulkan data pada tahun 2006.
Badan tersebut mengklasifikasikan Korea Utara sebagai “rezim otoriter” dari empat kategori, yang meliputi “demokrasi penuh”, “demokrasi cacat”, dan “rezim hibrida”.
Korea Utara mendapat skor nol dalam proses pemilu dan kebebasan sipil, dan menerima skor rendah masing-masing 2,50 dan 1,67 untuk berfungsinya pemerintah dan partisipasi politik.
Catatan Korea Utara berbanding terbalik dengan Korea Selatan.
Indeks Demokrasi mengungkapkan bahwa Korea Selatan menaikkan indeks dari kategori “demokrasi cacat” pada 2015 menjadi “demokrasi penuh” tahun lalu.
Badan itu mengatakan bahwa Korea Selatan termasuk di antara sedikit negara yang “melangkah lebih jauh daripada negara lain di dunia dalam melacak dan mengawasi warganya dalam penerapan kebijakan lockdown mereka” sebagai tanggapan terhadap pandemi COVID-19.
Media Pemerintah Korea Utara Gunakan Sebutan ‘Presiden’ Untuk Kim Jong Un
Media pemerintah Korea Utara, Korean Central News Agency (KCNA), menggunakan sebutan “presiden” sebagai gelar resmi pemimpin Kim Jong-un dalam bahasa Inggris dari sebutan gelar sebelumnya yaitu “ketua/pemimpin”, yang menurut para ahli dimaksudkan untuk meningkatkan citra “keadaan normal”.
Kantor berita Yonhap melaporkan, KCNA menggunakan gelar baru itu untuk pertama kalinya dalam artikel berbahasa Inggris pada Kamis lalu saat melaporkan pesan para pemimpin Kuba kepada Kim. Pada hari Rabu, 17 Februari 2021, KCNA juga menyebut Kim sebagai “presiden” dalam melaporkan kunjungannya ke Istana Matahari Kumsusan pada kesempatan ulang tahun ke-79 almarhum ayahnya Kim Jong-il.
Sebelumnya, KCNA biasanya menuliskan gelar internasional Kim sebagai “ketua/pemimpin” dari State Affairs Commission (SAC). Kim Jong Un juga kerap disebut sebagai “sekretaris jenderal” dari Partai Buruh yang berkuasa di Korea Utara.
Penyebutan “presiden” di Korea Utara sempat diberikan untuk Kim Il Sung, kakek dari Kim Jong Un. Gelar presiden umum digunakan oleh banyak negara demokratis, berbanding terbalik dengan Korea Utara.
Hong Min, peneliti senior di Korea Institute for National Unification mengatakan bahwa perubahan gelar mungkin sejalan dengan upaya Korea Utara untuk menunjukkan diri sebagai “negara normal” di komunitas internasional.
“Korea Utara nampaknya telah menggantikan ‘ketua/pemimpin’ dengan ‘presiden’ untuk Kim karena Kim dianggap memiliki lebih banyak perwakilan di dunia sebagai kepala negara,” ungkap Hong Min seperti dikutip dari Yonhap.
Tidak hanya itu, Hong juga menilai bahwa perubahan gelar bisa saja dimaksudkan untuk menyoroti status Kim sebagai kepala negara kepada dunia yang secara jelas berbeda dari “sekretaris jenderal”, yang terlalu sempit dan terlalu fokus pada perannya sebagai pemimpin partai.
Bulan lalu, Korea Utara juga mengganti nama Kementerian Angkatan Bersenjata Rakyat menjadi Kementerian Pertahanan yang lazim digunakan negara lain. Langkah itu dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan komunitas internasional.