CakapCakap – Cakap People! Jatuhnya Aung San Suu Kyi sebagai ikon hak asasi manusia telah mengurangi antusiasme Barat terhadapnya sebagai pemimpin Myanmar, tetapi pemerintah masih akan mendesak pembebasannya setelah kudeta pada hari Senin, 1 Februari 2021, untuk kembali ke pemerintahan demokratis, kata diplomat dan anggota parlemen.
Lama dielukan sebagai aktivis pro-demokrasi, Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian saat menjalani tahanan rumah pada tahun 1991, kemudian dijamu di Gedung Putih dan menjadi subjek film tahun 2011.
Tetapi sebagai pemimpin terpilih negara itu sejak 2015, Suu Kyi telah menghadapi kecaman internasional atas pembelaannya atas tuduhan genosida terhadap populasi Rohingya di Myanmar.
Melansir The Straits Times, para pemimpin Barat mengutuk perebutan kekuasaan pada hari Senin, 1 Februari 2021, oleh militer Myanmar dan menyerukan pembebasan mereka yang ditahan. Tetapi banyak pemerintah Eropa memilih untuk tidak menyebutkan nama Suu Kyi dalam pernyataan mereka.
Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok di Twitter menuntut “pembebasan segera semua politisi dan perwakilan masyarakat sipil yang terpilih secara demokratis”.
Kemenangan telak partai Suu Kyi dalam pemilihan 8 November 2020 lalu, dipandang sebagai referendum pada pemerintahan demokratis Suu Kyi yang masih baru, yang berarti dia sangat penting untuk kembali ke demokrasi, kata Heidi Hautala, wakil presiden Parlemen Eropa dan mantan menteri pemerintah Finlandia yang bertemu dengan Suu Kyi pada tahun 2013 di Myanamar.
“Tapi kami tidak akan melupakan apa yang dia [Suu Kyi, red] pernah katakan tentang orang-orang Rohingya di Pengadilan Internasional. Dia telah merusak reputasi internasionalnya sebagai pembela hak asasi manusia dengan dukungannya yang sangat terbuka kepada militer dalam masalah genosida,” kata Hautala kepada Reuters, seperti dilansir The Straits Times.
Pada Desember 2019, Suu Kyi memimpin tim pembela hukum ke Pengadilan Dunia di Den Haag, di mana negara tersebut menghadapi tuduhan genosida terhadap populasi Muslim Rohingya.
Komite Nobel menghadapi seruan agar mencabut hadiah Nobel yang pernah diberikan kepada Suu Kyi, dan sejumlah kota dan institusi lain, termasuk Uni Eropa, juga menarik atau menangguhkan penghargaan.
Dipulihkan sebagai martir?
Meskipun Suu Kyi tidak secara pribadi menghadapi dakwaan, dia mendukung militer dan membantah adanya genosida.
Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Agustus 2018 mengatakan militer Myanmar telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal dengan “niat genosida” dalam operasi tahun 2017.
Lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh selama tindakan keras itu, di mana penyelidik PBB mengatakan 10.000 orang mungkin telah tewas.
Tapi Suu Kyi membela kekerasan yang terjadi di negara bagian Rakhine barat itu sebagai operasi kontra-terorisme dan meminta pengadilan “untuk menghapus kasus dari daftarnya”.
Laetitia van den Assum, seorang pensiunan diplomat Belanda di Asia Tenggara yang secara teratur bertemu Suu Kyi selama hampir 15 tahun antara tahun 1989 hingga 2010 ketika dia berada dalam tahanan rumah, mengatakan statusnya sebagai ikon demokrasi “hampir ternoda”.
“Tapi tidak ada yang mau ada rezim militer di Myanmar,” katanya.
Seorang diplomat senior Uni Eropa yang berbasis di Jakarta mengatakan kepada Reuters bahwa citranya mungkin mendapat keuntungan dari kudeta, “memulihkan posisinya sebagai martir” tetapi Barat sekarang menyadari bahwa meskipun popularitasnya di dalam negeri, dia tidak memiliki pengaruh atas militer.
Dengan hanya Amerika Serikat dan Inggris yang memberikan sanksi langsung terhadap panglima militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, Uni Eropa dapat menunjukkan dukungannya kepada Suu Kyi dengan memberlakukan tindakan hukuman bulan ini, meskipun mereka mungkin pertama-tama memilih untuk memotong bantuan pembangunan, kata diplomat Uni Eropa.