CakapCakap – Cakap People! Keamanan penerbangan Indonesia kembali menjadi sorotan setelah terjadi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air yang membawa 62 orang jatuh ke Laut Jawa beberapa menit setelah lepas landas pada hari Sabtu, 9 Januari 2021. Ini menandai kecelakaan besar ketiga yang melibatkan maskapai di Indonesia hanya dalam waktu enam tahun.
Reuters melaporkan, sebelum kecelakaan itu terjadi, ada 697 korban jiwa di Indonesia selama satu dekade terakhir termasuk kecelakaan pesawat militer dan swasta. Menurut database Jaringan Keselamatan Penerbangan, angka ini menjadikan Indonesia sebagai pasar penerbangan paling mematikan di dunia – di depan Rusia, Iran dan Pakistan.
Sebelumnya, pesawat Lion Air 737 MAX hilang pada Oktober 2018.
Kecelakaan Lion Air, yang menewaskan 189 orang, merupakan kejadian luar biasa karena mengungkapkan masalah mendasar terkait model pesawat dan memicu krisis keselamatan di seluruh dunia untuk Boeing. Bahkan tidak termasuk kematian akibat kecelakaan itu, Indonesia akan berada di atas Rusia jika tidak ada yang selamat dari kecelakaan pada hari Sabtu itu.
Dari 2007 hingga 2018, Uni Eropa melarang penggunaan maskapai penerbangan Indonesia menyusul serangkaian kecelakaan dan laporan pengawasan serta pemeliharaan yang buruk. Selain itu, Amerika Serikat menurunkan evaluasi keselamatan Indonesia ke Kategori 2, yang berarti sistem peraturannya tidak memadai, antara tahun 2007 dan 2016.
Menurut laporan Reuters, catatan keselamatan udara Indonesia telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya dengan menerima evaluasi yang baik dari badan penerbangan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2018.
“Kecelakaan hari Sabtu tidak ada hubungannya dengan MAX, tetapi Boeing sebaiknya memandu Indonesia – yang memiliki catatan keselamatan udara buruk – untuk memulihkan kepercayaan pada industri penerbangannya,” kata Shukor Yusof, kepala konsultan penerbangan yang berbasis di Malaysia, Endau Analytics.
Pihak berwenang menemukan perekam data penerbangan pesawat Sriwijaya dan perekam suara kokpit pada hari Minggu, tetapi para ahli mengatakan masih terlalu dini untuk menentukan faktor-faktor yang bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat yang berusia hampir 27 tahun itu.
Sriwijaya Air flight #SJ182 lost more than 10.000 feet of altitude in less than one minute, about 4 minutes after departure from Jakarta.https://t.co/fNZqlIR2dz pic.twitter.com/MAVfbj73YN
— Flightradar24 (@flightradar24) January 9, 2021
Flight #SJ182 was operated by a Boeing 737-500 "classic" with registration number PK-CLC (MSN 27323). First flight for this aircraft was in May 1994 (26 years old). pic.twitter.com/2rakDifhTm
— Flightradar24 (@flightradar24) January 9, 2021
Menurut situs pelacakan FlightRadar24, pesawat Sriwijaya Air lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dan langsung jatuh ke laut. Jet Sriwijaya naik ke ketinggian 10.900 kaki dalam waktu empat menit tetapi kemudian mulai turun tajam dan berhenti mengirimkan data 21 detik kemudian.
“Ada banyak pendapat tentang kecepatan penurunan terakhirnya,” kata Geoff Dell, pakar investigasi kecelakaan udara yang berbasis di Australia. “Ini adalah indikasi dari apa yang terjadi. Akan tetapi, mengapa itu terjadi masih merupakan tebakan. Ada banyak cara untuk membuat pesawat turun dengan kecepatan seperti itu.”
Dell mengatakan, penyelidik akan melihat faktor-faktor termasuk kegagalan mekanis, tindakan pilot, catatan perawatan, kondisi cuaca, dan apakah ada gangguan yang melanggar hukum dengan pesawat. Sebagian besar kecelakaan udara disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang perlu waktu berbulan-bulan untuk ditetapkan.
Tak hanya itu, catatan operasi Sriwijaya juga akan diawasi.
“Catatan keamanannya beragam,” kata Greg Waldron, editor pelaksana Asia di publikasi industri FlightGlobal.
Dia mengatakan, maskapai tersebut telah mengandangkan tiga pesawat 737 antara 2008 dan 2012 karena pendaratan yang buruk yang mengakibatkan runway overruns, dengan kecelakaan tahun 2008 yang mengakibatkan satu kematian dan 14 cedera.
Sriwijaya Air pada akhir 2019 mengakhiri kemitraan selama setahun dengan maskapai nasional Garuda Indonesia dan telah beroperasi secara independen.
Tepat sebelum kemitraan itu berakhir, lebih dari separuh armada Sriwijaya telah dihentikan oleh Kementerian Perhubungan karena masalah kelaikan udara, menurut laporan media pada saat itu.
Sriwijaya tidak segera menanggapi permintaan komentar dari Reuters. Kepala eksekutif maskapai itu mengatakan pada hari Sabtu bahwa pesawat yang jatuh dalam kondisi baik.
Seperti operator Indonesia lainnya, Sriwijaya telah memangkas jadwal penerbangannya selama pandemi COVID-19.
Menurut Chappy Hakim, seorang analis penerbangan Indonesia dan mantan pejabat angkatan udara, tantangan yang dihadapi pandemi berdampak pada keselamatan penerbangan. “Misalnya, pilot atau teknisi dikurangi, gaji tidak dibayar penuh, pesawat di-grounded,” ujarnya.