CakapCakap – Cakap People! Pertumbuhan populasi yang cepat, kurangnya akses ke makanan dan air, serta meningkatnya paparan bencana alam, mengancam lebih dari 1 miliar orang harus mengungsi pada tahun 2050. Demikian menurut analisis baru tentang ancaman ekologi global.
Disusun oleh Institute for Economics and Peace (IEP), sebuah lembaga pemikir yang menyusun indeks terorisme dan perdamaian tahunan berlabel Ecological Threat Register, ini menggunakan data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sumber lain untuk menilai delapan ancaman ekologi dan memprediksi negara dan wilayah mana yang paling banyak terkena resiko.
Dengan perkiraan populasi dunia akan meningkat menjadi hampir 10 miliar pada tahun 2050 dan meningkatnya perebutan sumber daya yang memicu konflik, penelitian menunjukkan sebanyak 1,2 miliar orang yang tinggal di daerah rentan di sub-Sahara Afrika, Asia Tengah dan Timur Tengah mungkin saja dipaksa untuk bermigrasi pada tahun 2050.
Sebagai perbandingan, laporan tersebut mencatat faktor ekologi dan konflik menyebabkan pengungsian sekitar 30 juta orang pada 2019.
“Ini akan memiliki dampak sosial dan politik yang besar, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju, karena perpindahan massal akan menyebabkan arus pengungsi yang lebih besar ke negara-negara paling maju,” kata Steve Killelea, pendiri IEP, melansir Reuters, Rabu, 9 September 2020.
Daftar tersebut mengelompokkan ancaman menjadi dua kategori besar yakni kerawanan pangan, kelangkaan air dan pertumbuhan populasi, dan bencana alam termasuk banjir, kekeringan, angin topan, naiknya permukaan laut dan kenaikan suhu lainnya.
Hasilnya adalah analisis yang menilai berapa banyak ancaman yang dihadapi masing-masing dari 150 negara dan kapasitas mereka untuk menahannya.
Beberapa negara seperti India dan China, paling terancam oleh kelangkaan air dalam beberapa dekade mendatang. Sementara itu yang lain seperti Pakistan, Iran, Mozambik, Kenya, dan Madagaskar menghadapi kombinasi ancaman yang beracun, serta kemampuan yang semakin berkurang untuk menghadapinya.
“Negara-negara ini secara luas stabil sekarang tetapi memiliki paparan yang tinggi terhadap ancaman ekologi dan ‘perdamaian positif’ yang rendah dan memburuk, yang berarti mereka berada pada risiko keruntuhan yang lebih tinggi di masa depan,” demikian menurut analisis yang terdiri dari 90 halaman tersebut.
Killelea mengatakan dunia saat ini memiliki 60 persen lebih sedikit air bersih yang tersedia dibandingkan 50 tahun lalu, sementara permintaan akan makanan diperkirakan akan meningkat 50 persen dalam 30 tahun ke depan, sebagian besar didorong oleh perluasan kelas menengah di Asia.
Faktor-faktor tersebut, dikombinasikan dengan bencana alam yang hanya mungkin meningkat frekuensinya karena perubahan iklim, itu berarti bahkan negara yang stabil pun rentan pada tahun 2050.
IEP berharap daftar tersebut, yang dapat menjadi analisis tahunan, akan membentuk kebijakan bantuan dan pembangunan, dengan lebih banyak penekanan dan pendanaan mengarah pada dampak terkait iklim.