in ,

Studi: Kekebalan Wanita Terhadap Virus Corona Lebih Kuat Dibanding Pria

Sejak dimulainya pandemi, sebagian besar negara telah melaporkan jumlah kematian yang lebih tinggi akibat virus corona baru ini di kalangan pria daripada wanita.

CakapCakapCakap People! Sebuah studi baru yang dilakukan oleh Universiat Yale mengungkapkan bahwa wanita lebih mungkin mengembangkan respons kekebalan yang lebih kuat terhadap virus corona baru dibandingkan dengan pria. Studi ini memberikan penjelasan penyakit COVID-19 yang lebih parah yang sering diamati pada pria.

Hasil studi yang telah diterbitkan dalam jurnal Nature pada hari Rabu, 26 Agustus 2020, ini mencatat bahwa secara global, pria menyumbang sekitar 60 persen dari kematian terkait COVID-19 — penyakit pernapasan yang sangat menular yang disebabkan oleh virus corona baru.

“Apa yang kami temukan adalah bahwa pria dan wanita memang mengembangkan berbagai jenis respons kekebalan terhadap COVID-19,” kata Akiko Iwasaki, penulis utama studi tersebut dan profesor di Universitas Yale di Amerika Serikat, seperti dikutip dari Al-Jazeera, Senin, 31 Agustus 2020.

Ilustrasi. [Foto: Phil Noble / Reuters]

Spesialis kekebalan mengatakan “perbedaan ini mungkin mendasari kerentanan penyakit yang meningkat pada pria”.

Peneliti mengumpulkan sampel hidung, air liur, dan darah dari subjek kontrol yang tidak terinfeksi dan pasien dengan penyakit yang dirawat di Rumah Sakit Yale New Haven di Amerika Serikat.

Mereka menemukan bahwa wanita mampu meningkatkan respons kekebalan yang lebih kuat dengan memproduksi sel atau limfosit T, yang merupakan jenis sel darah putih yang dapat mengenali virus dan menghilangkannya. Hal serupa juga terjadi di antara wanita yang lebih tua.

Sebaliknya, pria yang lebih tua memiliki aktivitas sel T yang lebih lemah — semakin tua mereka, semakin lemah responsnya.

Secara keseluruhan pria juga menghasilkan lebih banyak sitokin, yang merupakan protein inflamasi yang membentuk bagian lain dari pertahanan kekebalan alami tubuh.

Namun, kasus COVID-19 yang parah telah dikaitkan dengan apa yang dikenal sebagai “badai sitokin” yang berdampak kurang baik untuk tubuh. Karena sistem kekebalan bekerja berlebihan, yang berbahaya dan berpotensi menyebabkan kematian.

Ini menunjukkan, naiknya kadar sitokin dapat terjadi pada wanita dan pria yang terinfeksi COVID-19, sehingga dibutuhkan perawatan yang berbeda bagi keduanya.

“Untuk pria mungkin kita harus meningkatkan respons sel T dengan vaksin. Sementara untuk pasien wanita, bisa diberi pengobatan yang dapat meredam sitokin,” ujar Iwasaki.

Ilustrasi virus corona. [Foto: NEXU Science Communications via Reuters]

Sejak dimulainya pandemi, sebagian besar negara telah melaporkan jumlah kematian yang lebih tinggi akibat virus corona baru ini di kalangan pria daripada wanita.

Para ahli telah menunjukkan sejumlah penjelasan yang mungkin untuk tren ini.

“Satu teori adalah bahwa pria lebih cenderung mengambil bagian dalam kebiasaan tidak sehat, yang terkait dengan pengembangan penyakit kronis,” tulis Dr Sara Kayat dalam sebuah artikel untuk Al Jazeera.

Kehadiran kromosom X ekstra yang dimiliki wanita serta hormon adalah kemungkinan alasan lain, katanya.

Namun, studi Yale, yang telah ditinjau sejawat, memiliki beberapa keterbatasan. Ukuran sampel relatif kecil, dengan total 98 pasien. Usia rata-rata pasien juga tinggi, sekitar 60 tahun.

Mengomentari penelitian tersebut, Eleanor Riley, seorang profesor di Universitas Edinburgh, mengatakan beberapa perbedaan yang dicatat dalam penelitian tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan usia atau BMI, yang mengukur lemak tubuh. Perbedaan jenis kelamin hilang setelah faktor-faktor lain diperhitungkan.

Dia mengatakan perawatan akan lebih baik jika disesuaikan secara individual, daripada ditentukan hanya berdasarkan jenis kelamin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

IDI: 100 Dokter di Indonesia Meninggal Dunia Karena COVID-19

Rumor Makin Kencang, Kaki Lionel Messi Tak Akan Menapak Lagi di Barcelona