CakapCakap – Cakap People! Virus corona baru yang menyebabkan penyakit COVID-19 masih menguasai dunia sejak kasus pertama diidentifikasi di Wuhan, China, pada Desember 2019. Kini, virus tersebut sudah menjangkiti puluhan juta orang di seluruh dunia dan menewaskan ratusan ribu orang, termasuk telah menyebar ke 215 negara dan teritori secara global.
Negara-negara di dunia saat ini tengah berlomba untuk segera mendapatkan vaksin dan obat untuk melawan COVID-19. Salah satu negara itu adalah Indonesia, yang kini telah menyelesaikan uji klinis Tahap Tiga untuk obat penawar COVID-19, yang dikatakan bakal menjadi yang pertama di dunia.
Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur, diketahui sudah menyelesaikan uji klinis Tahap Ketiga obat penawar untuk penanganan pasien COVID-19. Penelitian ini dilakukan bersama TNI Angkatan Darat (AD), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Polri.
Obat ini hampir dipastikan akan menjadi obat pertama untuk penyakit COVID-19 di dunia.
“Karena ini akan menjadi obat baru maka diharapkan ini akan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia,” kata Rektor Unair Prof Mohammad Nasih dalam acara penyerahan hasil uji klinis Fase 3 di Mabes AD, Jakarta, Sabtu, 15 Agustus 2020, mengutip laporan Republika Online.
Nasih mengungkapkan bahwa obat baru ini merupakan hasil kombinasi dari tiga jenis obat. Pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci.
Di luar negeri, tiga obat itu diberikan satu per satu kepada pasien. Kemudian tiga obat itu dikombinasikan oleh Unair menjadi satu obat.
Hasilnya efektifitas obat lebih dari 90 persen. Selain itu dosis yang dihasilkan lebih rendah dibanding apabila obat diberikan secara tunggal. Meskipun hasil kombinasi, BPOM tetap menganggap obat yang dihasilkan Unair digolongkan pada obat baru.
Nasih menjelaskan, pembuatan obat COVID-19 ini sudah dilakukan sejak Maret 2020. Seluruh prosedur yang dipakai telah mengikuti yang disyaratkan BPOM. Saat ini obat tersebut hanya tinggal menunggu izin edar dari BPOM sebelum diproduksi masal.
“Yang perlu ditekankan adalah untuk produksi dan edarnya kita tetap masih menunggu izin produksi dan edar BPOM. Artinya obat ini belum akan diproduksi sepanjang belum ada izin BPOM,” jelas Nasih.
Di tempat yang sama, Kepala Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga (Unair), Purwati, menyebutkan obat penawar COVID-19 yang berhasil ditemukannya memiliki efektivitas tingkat kesembuhan yang tinggi. Pemberian obat dalam kurun waktu 1-3 hari, mampu membunuh virus setidaknya 90 persen.
“Efikasi obat tadi sudah kami paparkan. Untuk perbaikan klinis dalam 1 sampai 3 hari itu 90 persen,” kata Purwati.
Data itu didapat melalui pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah kondisi, efektivitas obat ini bahkan bisa mencapai 98,9 persen. Artinya virus yang berada di dalam tubuh, hampir seluruhnya bisa mati dalam waktu singkat.
Purwati menyampaikan, obat tersebut telah melalui uji klinis tahap 1, 2, dan 3. Untuk uji klinis tahap 4 dilakukan setelah obat dipasarkan secara masal.
“Jadi untuk memperoleh izin edar itu jenisnya sampai 3,” katanya.
Purwati memastikan obat penawar COVID-19 itu tidak berbahaya untuk dikonsumsi, tetapi tetap memiliki efek samping bagi pasien.
“Setiap sesuatu obat pasti ada efek sampingnya. Setidaknya uji toksisitas dari kombinasi obat yang kita lakukan, maka di situ efek samping ditemukan tidak terlalu toksit,” ujarnya.
Bahkan, dosis obat ini lebih rendah dibanding tiga obat tunggal yang dikombinasikan oleh Unair. Kemudian hasil rekam jantung, liver, dan ginjal pasien selama 7 hari masih aman.
“Alhamdulilah terjadi perbaikan dari fungsi liver. Jadi relatif aman untuk digunakan,” jelas Purwati,” seperti dikutip Republika Online.