CakapCakap – Cakap People! Kita hampir mencapai pertengahan tahun 2020 dan pandemi COVID-19 masih terus menimbulkan kekacauan di banyak negara. Sampai sekarang, sekitar 7,2 juta orang telah terinfeksi virus ini, termasuk 3,5 juta orang pulih dan 408 ribu orang meninggal dunia.
Individu yang tertular virus corona baru ini sering tidak menunjukkan gejala apapun, sementara beberapa lainnya mengalami gejala ringan yang mirip dengan flu seperti demam, batuk dan kehilangan rasa. Namun, pasien yang paling parah sering kali adalah mereka yang mengalami kesulitan bernapas karena COVID-19 adalah jenis coronavirus yang mirip dengan SARS yang menyebabkan gejala seperti pneumonia.
Pasien COVID-19 yang parah ini harus diisolasi di unit perawatan intensif dan memakai ventilator untuk membantu mereka bernapas. Meskipun mesin ventilasi ini membantu menjaga mereka tetap hidup, namun penderitaan yang harus mereka lalui adalah hal yang tidak dibicarakan oleh kebanyakan orang.
Kapan ventilator dibutuhkan
Ventilator pada dasarnya mengambil alih proses pernapasan tubuh ketika penyakit menyebabkan fungsi paru-paru gagal. Ini memberi pasien waktu untuk melawan infeksi dan pulih.
Seorang dokter memutuskan untuk menempatkan pasien pada ventilator ketika mereka menunjukkan tanda-tanda kegagalan pernapasan. Kecepatan pernapasan pasien akan meningkat, mereka akan terlihat tertekan dan CO2 dalam darah naik dan mereka bisa menjadi dibius, kata Prof David Story, wakil direktur Pusat Perawatan Terpadu Universitas Melbourne, seperti dilansir dari The Guardian.
Dia mengatakan bahwa laju pernapasan normal adalah sekitar 15 napas per menit dan jika laju naik menjadi sekitar 28 kali per menit, ini adalah sinyal bahwa ventilasi mungkin diperlukan.
Cara kerja ventilator
Untuk menempatkan pasien dalam ventilator, dokter akan melakukan prosedur medis yang disebut “intubasi”, di mana pasien dibius dan diberikan pelemas otot. Alat bantu napas berupa tabung endotrakeal kemudian ditempatkan melalui mulut dan ke dalam batang tenggorok (trakea) dan melekat pada ventilator yang memantau berapa banyak oksigen yang didorong ke paru-paru.
Ventilator juga memiliki pelembab udara, yang menambah panas dan kelembaban ke pasokan udara sehingga sesuai dengan suhu tubuh pasien, demikian dituliskan BBC dalam laporannya yang mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Jika menempatkan tabung melalui hidung atau mulut terbukti sulit atau tidak membantu pasien, lubang dibuat di leher pasien dan tabung trakeostomi ditempatkan melalui lubang tersebut, menurut National Heart, Lung and Blood Association (NHLBA).
Kebenaran dan kenyataan menyakitkan tentang ventilator
Namun, penggunaan ventilator yang berkepanjangan menimbulkan risiko kesehatan lain bagi pasien.
Pertama-tama, tabung pernapasan membuat pasien sulit untuk batuk, memungkinkan bakteri memasuki paru-paru mereka yang dapat menyebabkan pneumonia. Seolah-olah pasien COVID-19 tidak memiliki masalah dengan paru-parunya, ventilator dapat menyebabkan masalah tambahan.
Menurut NHLBA, berikut ini adalah beberapa masalah tambahan yang bisa dihadapi pasien dengan ventilator, seperti dilansir World of Buzz:
Atelektasis – suatu kondisi di mana paru-paru tidak berkembang penuh. Ini menyebabkan kantung udara runtuh.
Gumpalan darah – tetap dalam satu posisi untuk waktu yang lama dapat menyebabkan gumpalan darah dan infeksi kulit yang serius.
Kerusakan paru-paru – mendorong terlalu banyak udara ke paru-paru atau dengan terlalu banyak tekanan dapat membahayakan paru-paru. Terlalu banyak oksigen juga dapat merusak paru-paru.
Kelemahan otot – ventilator melepaskan beban dari diafragma dan otot pernapasan lainnya, menyebabkan mereka menjadi lemah.
Kerusakan pita suara – karena tabung pernapasan ditempatkan melalui hidung atau mulut ke batang tenggorok, tabung itu bisa merusak pita suara.
Penumpukan cairan – kantung udara di dalam paru-paru, yang biasanya diisi dengan udara dapat terisi dengan cairan. Ini disebut edema paru.
Pneumothorax – suatu kondisi di mana udara bocor keluar dari paru-paru dan ke dalam ruang antara paru-paru dan dinding dada. Ini bisa menyebabkan rasa sakit dan sesak napas. Ini dapat menyebabkan satu atau kedua paru-paru runtuh.
Lebih lanjut, pasien COVID-19 yang menggunakan ventilator sering ditempatkan di perut mereka untuk membantu aliran darah melalui paru-paru, membantu lebih baik menyesuaikan aliran udara dengan suplai darah, kata Dr. Greg Martin, seorang profesor perawatan kritis paru di Emory University dan presiden- terpilih Perhimpunan Kedokteran Perawatan Kritis.
Tidak lupa bahwa saat pasien menggunakan ventilator, mereka tidak dapat lagi melakukan fungsi dasar aktovitas sehari-hari seperti makan dan pergi ke kamar mandi sendiri, ini berarti bahwa mereka harus mengenakan popok atau dihubungkan ke kateter.
Burton Bentley II, CEO Elite Medical Experts mengatakan kepada Business Insider bahwa kadang-kadang, paru-paru pasien melawan mesin ventilator, dan mereka harus dimasukkan ke dalam kondisi koma yang diinduksi secara medis.
Ini mungkin bahkan tidak mendekati apa yang sebenarnya dialami oleh pasien COVID-19 yang kritis saat mereka harus menggunakan ventilator, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa inilah yang harus dilalui ribuan orang di seluruh dunia.
Ketika negara kita perlahan memberlakukan new normal di tengah kasus COVID-19 yang belum mereda, mari kita ingat bahwa kita masih belum aman dari COVID-19. Oleh karena itu, kita perlu menjaga diri kita sendiri dan orang yang kita cintai dan mengikuti SOP atau protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2 Comments
Leave a Reply2 Pings & Trackbacks
Pingback:Update COVID-19 di RI [11 Juni]: Bertambah 979, Kasus Positif Terbanyak dari Jatim dan Sulsel - CakapCakap
Pingback:Update COVID-19 di RI [17 Juni]: Bertambah 1.031 Kasus, Inilah 5 Provinsi dengan Kasus Terbanyak - CakapCakap