CakapCakap – “Bakar Gunung” adalah istilah yang sangat khas, hadir dari masyarakat Suku Serawai, Kabupaten Bengkulu Selatan. Bakar Gunung bukan berarti membakar gunung, tetapi adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Bengkulu Selatan untuk menyambut hadirnya Hari Raya Idul Fitri. Dalam istilah daerahnya, bakar gunung juga sering disebut ronjok sayak, dengan sayak sendiri berarti batok kelapa dalam bahasa batak. Bakar gunung merupakan tradisi yang dilakukan dengan membakar batok kelapa kering, yang sebelumnya ditumpuk keatas lebih dari satu meter tingginya.
Tradisi ini sudah hadir sejak ratusan tahun yang lalu, yang secara sederhana dimaknai sebagai rasa sukacita karena menyambut Idul Fitri. Apalagi di zaman dulu, belum ada listrik sebagai penerangan di kawasan tersebut.
Dewasa ini Cakap People, tradisi membakar batok kelapa ini lebih dikenal dengan istilah “api jagau”, yang secara harafiah diartikan sebagai api yang menjaga. Teknis pembakarannya adalah dimulai dengan menumpuk batok kelapa hingga ketinggian sekitar 1,5 meter. Tumpukan batok kelapa tersebut dinamai lunjuk, dan hanya boleh ada 1 lunjuk disetiap rumah. Aturan ini menjadi lambang perwujudan keesaan Allah SWT.
Sebelum pandemi, biasanya masyarakat Bengkulu akan berkumpul di masjid sambil membawa kuliner khas berupa lemang dan tapai ketan. Setelah dimakan bersama, shalat isya, tarawih, dan witir berjamaah, biasanya mereka akan saling berkumpul disekeliling batok kelapa yang dibakar tadi, sebagai tanda kemeriahan menyambut Idulfitri.
Tradisi bakar batok kelapa dilakukan dengan cara yang agak berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Di kecamatan Kedurang, istilah bakar batok kelapa bernama nujuh likur, yang berarti angka 27. Perayaan ini dilaksanakan pada hari ke-17 Ramadhan, sebagai penanda bahwa Idul Fitri tinggal tiga hari lagi, dan sudah waktunya masyarakat turun ke kebun atau panen di ladang untuk mempersiapkan diri menyambut hari raya.
Sementara bagi masyarakat Rejang, penamaan tradisi bakar batok kelapa bernama opi malem likua. Sama dengan pelaksanaannya di hari ke-27 Ramadhan, masyarakat Rejang percaya pada malam tersebut, arwah keluarga yang sudah meninggal akan datang menengok keluarganya. Bakar batok kelapa disebutkan sebagai penanda agar arwah tidak tersesat. Jika tersesat, maka arwah leluhur tersebut tidak akan tenang. Berbeda dengan daerah lainnya di Bengkulu, tradisi di daerah ini menambah suasana magis ketika ada banyak asap mengepul di langit Bengkulu.