CakapCakap – Cakap People! Gejala terkenal yang dimiliki oleh pasien COVID-19 adalah memiliki kadar oksigen sangat rendah atau hipoksia dalam tubuh yang biasanya menyebabkan sesak napas. Tetapi beberapa pasien virus corona dengan hipoksia tidak mengalami tanda-tanda awal bahwa kadar oksigen mereka turun ke wilayah berbahaya.
Fenomena ini disebut sebagai silent hypoxia atau happy hypoxia, di mana tubuh memiliki saturasi oksigen di bawah 90 persen, tetapi orang tersebut masih bisa bernapas dengan normal. Namun, beberapa dokter mempermasalahkan istilah ini karena pasien COVID-19 sesungguhnya tetap mengalami gejala demam atau batuk.
Dokter spesialis paru di Waterbury, Connecticut, Amerika Serikat, David Hill, menjelaskan proses silent hypoxia.
Kondisi tersebut terjadi ketika paru-paru pasien memiliki ventilasi normal, tetapi ada cukup penyakit sehingga kadar oksigennya menurun.
“(Pasien-pasien ini) masih akan memiliki fungsi paru-paru yang cukup baik, dalam hal paru-paru masih mampu mengeluarkan karbon dioksida sehingga awalnya tidak mengalami sesak napas,” ungkap juru bicara Asosiasi Paru-Paru Amerika itu.
Ketika pasien dengan silent hypoxia mencari perawatan medis, mereka biasanya memiliki gejala COVID-19 selama lima hingga tujuh hari.
Pendapat lain menambahkan, waktu terburuk hipoksia biasa maupun silent hypoxia pada pasien COVID-19 adalah hari ke-10.
Ahli paru intervensi Udit Chaddha mengatakan silent hypoxia bukanlah hal baru atau hanya spesifik terjadi pada pasien corona. Fenomena tersebut lazim terjadi pada pasien dengan infeksi paru-paru, baik yang diakibatkan oleh virus ataupun tidak.
Asisten profesor kedokteran paru di Sekolah Kedokteran Icahn di New York, Amerika Serikat, itu, menyebutkan tingkat kemungkinan pada pasien COVID-19 yang selama ini dia tangani.
Dari setiap 10 pasien, biasanya antara dua sampai empat mengalami silent hypoxia.
Tidak ada karakteristik atau kriteria yang menentukan apakah seseorang berisiko lebih tinggi mengalami silent hypoxia.
Pasien dengan hipoksia tanpa gejala pun belum tentu mengalami kondisi lebih buruk dibandingkan pasien tanpa kondisi itu, demikian pula sebaliknya.
Hanya saja, Chaddha mengatakan, pasien dengan silent hypoxia biasanya tidak mendapat pengobatan dalam waktu yang lama karena tidak ada gejala, baru pada akhirnya mencari perawatan medis.
Ada beberapa cara untuk menangani kondisi tersebut.
silent hypoxia dapat ditangani dengan menggunakan ventilator, tetapi biasanya ada strategi lain terlebih dahulu. Misalnya, mesin Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) yang menggunakan selang dan masker untuk memberikan tekanan udara konstan, atau menyesuaikan posisi tubuh.
Bagi yang ingin mengetahui keberadaan silent hypoxia tanpa perawatan medis, Chaddha menyarankan melakukan pemantauan di rumah. Salah satu opsinya adalah menggunakan alat pulse oximeter, yang mengukur saturasi oksigen yang dibawa dalam sel darah merah.
Meski begitu, sebagian ahli memperingatkan alat tersebut tidak cocok untuk semua orang. Pemantauan dengan alat tersebut sebaiknya dilakukan hanya jika positif COVID-19, melakukan karantina di rumah, dan pernah mengalami kadar oksigen rendah sebelumnya.
Cara paling tepat tentunya berkonsultasi dengan dokter. Kelompok berisiko tinggi perlu meminta saran dari dokter mengenai perangkat pengukuran apa yang perlu dibeli dan melatih cara penggunaannya dengan akurat.
Kondisi silent hypoxia bukan serta-merta menjadi penanda kesehatan seseorang menurun.
“Jangan langsung khawatir tentang hal itu, tetapi waspadalah,” kata Chaddha, dikutip dari laman Today.