in ,

COVID-19: Kapan Pandemi Virus Corona Berakhir dan Dunia Kembali Normal?

Profesor epidemiologi penyakit menular dari Universitas Edinburgh, Mark Woolhouse, mengatakan, dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar dunia kembali normal.

CakapCakapCakap People! COVID-19 menyebar. Dunia ditutup. Tempat-tempat yang dulu penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari telah menjadi kota hantu dengan pembatasan besar-besaran terhadap kehidupan kita — mulai dari lockdown dan penutupan sekolah hingga pembatasan perjalanan dan larangan untuk pertemuan massal.

Ini adalah respons global yang tak tertandingi terhadap suatu penyakit. Tetapi kapan situasi ini akan berakhir dan kita kembali bisa melanjutkan hidup dengan normal?

Prajurit tentara mengenakan pakaian pelindung menyemprotkan desinfektan untuk mencegah penyebaran virus corona baru di stasiun kereta Dongdaegu di Daegu, Korea Selatan, Sabtu, 29 Februari 2020. (Foto: Kim Hyun-tai / Yonhap via AP)

Namun, tidak satu pun negara yang memiliki jalan keluar untuk mengatasi virus ini dalam waktu cepat. Profesor epidemiologi penyakit menular dari Universitas Edinburgh, Mark Woolhouse, mengatakan, dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar dunia kembali normal.

“Tidak ada negara yang memiliki strategi keluar (dari virus),” kata Prof Woolhouse dilansir di BBC, Kamis, 26 Maret 2020.

Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga cara untuk keluar dari kekacauan ini, yakni vaksinasi, cukup banyak orang yang kebal melalui infeksi, atau secara permanen mengubah perilaku masyarakat kita.

Menurut Prof Woolhouse, setiap jalan ini akan mengurangi kemampuan virus untuk menyebar. Namun, semuanya membutuhkan waktu yang sangat lama, berikut penjelasannya.

Vaksin

Pengembangan vaksin membutuhkan waktu setidaknya 12-18 bulan lagi. Vaksin harus memberi seseorang kekebalan sehingga mereka tidak menjadi sakit jika terpapar.

Imunisasi dilakukan pada banyak orang, sekitar 60 persen dari populasi. Melalui vaksinasi massal ini, diharapkan virus tidak dapat menyebabkan wabah. Konsep ini dikenal sebagai kekebalan kawanan.

Pada pekan lalu, Amerika Serikat telah melakukan percobaan pemberian vaksin pada pasien COVID-19. Percobaan pada manusia dilakukan setelah para peneliti diizinkan untuk melewatkan aturan biasa melakukan tes pada hewan terlebih dahulu.

Meskipun penelitian vaksin berlangsung dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak ada jaminan hal itu akan berhasil dan akan membutuhkan imunisasi dalam skala global.

Tebakan terbaik adalah pembuatan vaksin masih membutuhkan waktu 12 hingga 18 bulan lagi jika semuanya berjalan lancar. Durasi itu adalah waktu yang lama untuk menunggu ketika di seluruh dunia menghadapi pembatasan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Orang-orang yang mengenakan masker pelindung antri untuk diperiksa suhunya di luar gedung perkantoran di kawasan pusat bisnis Singapura, pada hari Senin, 10 Februari 2020. [Fotografer: SeongJoon Cho / Bloomberg]

Kekebalan alami, setidaknya dua tahun lagi

Tak satu pun negara memiliki jalan keluar mengatasi virus ini dalam waktu cepat.

Strategi jangka pendek Inggris adalah menurunkan kasus sebanyak mungkin untuk mencegah rumah sakit kewalahan. Sebab, kehabisan tempat perawatan intensif akan membuat jumlah kematian melonjak.

Setelah kasus ditekan, situasi ini dapat memungkinkan beberapa langkah saat ini untuk dicabut sementara waktu, sampai kasus naik lagi dan pembatasan sosial kembali diperlukan.

Kepala penasihat masalah sains Inggris, Sir Patrick Vallance, mengatakan bahwa menetapkan batas waktu mutlak pada hal-hal seperti itu tidak mungkin. Melakukan hal ini dapat, secara tidak sengaja, menyebabkan kekebalan kawanan karena makin banyak orang terinfeksi.

Namun, menurut Prof Neil Ferguson dari Imperial College London, hal ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.

“Kita berbicara tentang menekan transmisi pada tingkat di mana, mudah-mudahan, hanya sebagian kecil dari negara yang akan terinfeksi,” kata Prof Ferguson.

“Jadi, pada akhirnya, jika kita melanjutkan ini selama dua tahun lebih, mungkin sebagian kecil negara pada saat itu telah terinfeksi untuk memberikan beberapa tingkat perlindungan masyarakat,” katanya menambahkan.

Namun, ada keraguan apakah kekebalan ini akan bertahan. Virus corona lain, yang menimbulkan gejala flu biasa, menyebabkan respons imun yang sangat lemah dan orang-orang dapat menangkap virus yang sama beberapa kali dalam hidup mereka.

Perubahan permanen perilaku masyarakat

“Opsi ketiga adalah perubahan permanen dalam perilaku kita yang memungkinkan kita menjaga tingkat penularan tetap rendah,” kata Prof Woolhouse.

Langkah ini dapat mencakup menjaga beberapa tindakan yang telah dilakukan atau memperkenalkan pengujian yang ketat dan isolasi pasien untuk mencoba untuk unggul di atas setiap wabah.

“Kami melakukan deteksi dini dan pelacakan kontak pada putaran pertama dan itu tidak berhasil,” kata Prof Woolhouse menambahkan.

Petugas kesehatan yang mengenakan pelindung mengevakuasi warga dari gedung perumahan umum di Hong Kong. Foto: Tyrone Siu / Reuters

Mengembangkan obat-obatan yang berhasil mengobati infeksi COVID-19 dapat membantu strategi lain juga. Obat-obatan dapat digunakan segera setelah orang menunjukkan gejala dalam proses yang disebut “kontrol transmisi” untuk menghentikan mereka meneruskannya ke orang lain.

Di samping itu, hal tersebut untuk merawat pasien di rumah sakit agar penyakitnya tidak terlalu mematikan dan mengurangi tekanan pada perawatan intensif. Hal ini akan memungkinkan negara-negara untuk menangani lebih banyak kasus sebelum perlu memperkenalkan kembali karantina wilayah.

Meningkatkan jumlah tempat perawatan intensif akan memiliki efek yang sama dengan meningkatkan kapasitas untuk mengatasi wabah yang lebih besar. Namun, secara jangka panjang, vaksin merupakan solusi utama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Punya Banyak Roti Tawar Sisa? Jadikan Olahan Ini Saja Yuk!

Inilah 7 Makanan Nusantara yang Awet dan Bisa Jadi Persediaan dalam Jangka Waktu Lama