Setiap tahunnya, pada tanggal 22 April, masyarakat dunia merayakan apa yang dinamakan dengan Hari Bumi. Pada saat itu digelar berbagai event untuk meningkatkan kesadaran warga bumi akan kondisi lingkungan mereka. Bagaimanapun juga, bumi sekarang tengah pada kondisi kurang stabil karena perubahan iklim yang begitu drastis dan intens dirasakan di seluruh belahan bumi.
Sedikit banyak, kamu juga harus mengerti, gaes, ada apa dengan bumi. Dengan mengapresiasi apa yang tengah terjadi, kamu bakal tertuntun untuk mengubah gaya hidup sehingga lebih ramah lingkungan dan ‘ramah bumi’. Percuma, dong, inisiatif yang sifatnya global tidak banyak dimengerti oleh satu individu tunggal.
So, kamu tidak harus menjadi seorang klimatolog tulen untuk berbicara dan meneruskan informasi perihal bumi, perubahan iklim dan pemanasan global ke siapapun yang kamu kenal. Paling tidak, ada hal-hal mendasar yang perlu kamu sadari dan pahami untuk kemudian diteruskan ke orang lain agar bukan cuma kamu yang tercerahkan sehingga bumi menjadi tempat tinggal yang lebih baik dan lebih nyaman bagi siapapun dan spesies apapun.
Suhu Bumi mengalami peningkatan selama 627 bulan berturut-turut
Tahun 2016 lalu digadang-gadang sebagai tahun terpanas dalam sejarah manusia. Temuan ini dilontarkan oleh para ilmuwan di Goddard Institute for Space Studies (GISS) dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Tidak hanya itu, gaes, pada tahun itu terpecahkan pula rekor temperatur permukaan global setelah dilakukan pengamatan selama 3 tahun berturut-turut. FYI, gaes, semenjak akhir abad XIX temperatur permukaan Bumi meningkat sebesar 1,1 derajat Celcius.
Pemanasan ini sendiri semakin intens terjadi selama 35 tahun terakhir dan disebabkan oleh meningkatnya kadar karbon dioksida dan berbagai hasil emisi yang dihasilkan oleh aktifitas manusia di atmosfer. Kita sekarang sudah memiliki 627 bulan yang subuhnya lebih hangat dari normal dibandingkan tahun 1881 hingga 1910.
Perjanjian Paris
Ada 196 negara yang menandatangani perjanjian ini di tahun 2015. Tujuannya adalah menjaga agar peningkatan temperatur bumi berada di bawah 2 derajat Celcius dan, jika memungkinkan, di bawah 1,5 derajat Celcius. Ini bukan hal mudah untuk diraih, gaes. Sasaran ini baru bisa tercapai kalau negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut memegang teguh komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Persoalan menjadi kian rumit ketika Donald Trump berjanji untuk menarik Amerika Serikat dari perjanjian ini. Bagaimanapun juga, Amerika Serikat sebagai negara adidaya merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.
Emisi karbon dioksida
Untuk mengkaji pengaruh keberadaan karbon dioksida yang semakin meningkat, para ilmuwan meneliti gelembung udara yang ada di es kutub. Mereka tampak seperti benda mati, tapi es kutub bisa memberi catatan temperatur dan keberadaan karbon dioksida hingga 800 ribu tahun lalu. Dari sinilah para ilmuwan mengerti kalau dulunya bumi pernah mengalami pemanasan global. Yang mengerikan adalah bahwa pemanasan global yang terjadi di jaman now berlangsung dengan laju jauh lebih tinggi ketimbang pemanasan global di jaman old.
Penyebab utamanya adalah emisi gas rumah kaca di atmosfer yang kebanyakan berupa karbon dioksida. Gas ini membentuk selubung mirip selimut sehingga panas yang ada di permukaan Bumi tidak bisa keluar. Adalah aktifitas manusia seperti pembakaran minyak bumi, batu bara dan gas alam serta perusakan hutan yang turut andil dalam peningkatan kadar karbon dioksida lebih dari sepertiga semenjak dimulainya Revolusi Industri.
Cuaca yang aneh
Peningkatan temperatur global mempengaruhi curah hujan di banyak tempat serta meningkatkan peluang terjadinya fenomena cuaca ekstrim seperti banjir, kekeringan atau gelombang panas. FYI, gaes, jumlah bencana yang ada hubungannya dengan iklim meningkat tiga kali lipat semenjak tahun 1980. Negara Paman Sam sendiri mengalami 32 kondisi cuaca ekstrim antara 2011 dan 2013 yang menelan kerugian hingga 1 miliar dolar AS dalam bentuk kerusakan di sana-sini.
Meningkatnya ketinggian air laut
Tidak hanya udara yang mengalami perubahan gara-gara pemanasan global. Air laut juga bakal mengalami perubahan drastis dimana menjadi lebih hangat dan cenderung bersifat asam. Sementara itu, es di kutub serta lembaran es yang ada di kedua kutub bumi meleleh sehingga air laut pun bertambah ketinggiannya. Pihak Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sendiri mengatakan kalau akhir abad ini ketinggian air laut akan naik 52 hingga 98 cm jika emisi gas rumah kaca terus dibiarkan meningkat.
Es kutub
Es yang ada di Laut Arktik tidak hanya menyusut luasnya, tapi es yang usianya lebih tua meleleh. Hal ini diperkirakan bakal membuat es di kawasan itu rentan mencair di masa mendatang. Mencairnya es kutub ini, menurut IPCC, akan meningkatkan ketinggian air laut hingga 20 cm dari posisinya sekarang. Namun, institusi yang sama juga memperingatkan kalau kenaikan air laut bisa mencapai beberapa puluh cm lagi kalau lembaran es di kutub menjadi lebih tidak stabil lagi gara-gara pemanasan global.
Penggundulan hutan
FYI, gaes, pepohonan menyerap karbon dioksida saat mereka tumbuh; menjadikan tubuh mereka sebagai pendingin karbon alias ‘carbon sink’. Ini artinya penebangan hutan yang dilakukan secara liar tidak ditertibkan, maka akan lebih banyak lagi gas rumah kaca yang masuk ke atmosfer sehingga akan mempercepat laju dan derajat keparahan perubahan iklim. Hingga dewasa ini hutan meliputi 30 persen luas daratan bumi, tapi sekitar 50 mil persegi hutan hilang setiap tahunnya. Kalau dianalogikan, laju itu sama dengan terbentuknya 48 lapangan bola setiap menit.
This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!